Selasa, 27 November 2012

Silabus FIQIH Kelas IX SMT II 2013



  1. Menjelaskan ketentuan pinjam meminjam
  2. Menjelaskan ketentuan  utang piutang, gadai, dan borg 
  3. Menjelaskan ketentuan  upah
  4. Mendemonstrasikan ketentuan tata cara pelaksanaan pinjam meminjam, utang piutang, gadai dan borg serta pemberian upah
  5. Menjelaskan  ketentuan  tentang pengurusan jenazah, takziyah dan ziarah kubur
  6. Menjelaskan ketentuan-ketentuan harta si mayat (waris) 
  7. Mempraktikkan tatacara pengurusan jenazah

Silabus FIQIH Kelas VIII SMT II 2013



  1. Menjelaskan ketentuan-ketentuan shadaqah, hibah dan  hadiah
  2. Mempraktikkan sedekah, hibah dan hadiah
  3. Menjelaskan macam-macam haji
  4. Mempraktikkan tatacara ibadah haji dan umrah
  5. Menjelaskan ketentuan ibadah haji dan umrah
  6. Menjelaskan jenis-jenis  makanan dan minuman halal
  7. Menjelaskan manfaat mengkonsumsi makanan dan minuman halal
  8. Menjelaskan  jenis-jenis makanan dan minuman haram
  9. Menjelaskan bahayannya mengkonsumsi makanan dan minuman haram
  10. Menjelaskan jenis-jenis  binatang yang halal dan haram dimakan

Silabus FIQIH Kelas VII SMT II 2013


  1. Menjelaskanketentuan shalat dan khutbah Jumat
  2. Mempraktikkan khutbah dan salat Jumat
  3. Menjelaskanketentuan salat jenazah
  4. Menghafal bacaan-bacaan shalat jenazah 
  5. Mempraktikkan salat jenazah
  6. Menjelaskan ketentuan shalat jama’, qashar dan  jama’ qashar
  7. Mempraktikkan salat jama’, qashar dan  jama’ qashar
  8. Menjelaskan ketentuan salat dalam keadaan darurat ketika sedang sakit dan di kendaraan
  9. Mempraktikkan salat dalam keadaan darurat ketika sedang sakit dan di kendaraan
  10. Menjelaskan ketentuan shalat sunnah muakkad
  11. Menjelaskan macam-macam salat sunnah
  12. muakkad
  13. Mempraktikkan salat sunnah muakkad
  14. Menjelaskan ketentuan salat sunnah ghairu muakkad
  15. Menjelaskan macam-macam salat sunnah ghairu muakkad   
  16. Mempraktikkan salat sunnah ghairu muakkad

hadits -hadits


Hadits Nasai 4327

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عُمَرَ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ فَكُلْ إِلَّا بِسِنٍّ أَوْ ظُفُرٍ
Apa yg dapat mengalirkan darah & telah disebutkan nama Allah, maka makanlah, kecuali dgn gigi atau kuku.

 وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 

iلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Artinya:”kecuali dengan jalan yang didasar suka sama suka diantara kamu.”(An-Nisa’:29)


27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

 

Senin, 26 November 2012

AWAL TIMBULNYA PENGUCAPAN NIAT DALAM SHALAT ~ SYFAKUMALA

AWAL TIMBULNYA PENGUCAPAN NIAT DALAM SHALAT ~ SYFAKUMALA

Makna Niat

1. MAKNA  NIAT  DALAM  TUNTUNAN  ISLAM

OLEH :  MEMET  KURNIA

 
Dalam  edisi yang lalu disebutkan bahwa Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah adalah seseorang yang melakukan ibadahnya selaras dengan kebenaran yang di ajarkan oleh Rasulullah SAW, sebagai pijakan dalam menimbang bahwa seorang muslim masuk dalam katagori Ahlus-sunnah Wal Jama’ah ataukah hanya sebatas pengakuan yang bersandar pada taqlid buta dan kebodohannya. Memahami dan menjalankan makna niat dalam pengertian sebenarnya bisa mengantarkan seorang muslim pada kwalitas imannya yang diharapkan Islam.
Pengertian Niat
Niat secara bahasa  adalah "maksud"  
(القصدُ)
 
Sementara menurut Syara’ niat adalah
قَصْدُ فعْلِ العبادةِ تَقرُّبًا إلى الله تعالى، بأن يَقْصِد بعملِه اللهَ تعالى دونَ شيءٍ آخرَ، وهذا هو الإخْلاصُ. والعبادةُ إخْلاصُ العملِ بكلّيّتِه لله تعالى

“Maksud mengerjakan sebuah amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan tujuan ibadahnya tersebut hanya Allah swt tidak ada tujuan yang lain dan hal ini disebut pula ikhlas. Ibadah adalah pemurnian amal secara keseluruhan hanya kepada Allah semata.”

Dari pengertian di atas niat identik dengan ikhlas, sebagimana Imam  Al-Mawardi menguatkan hal itu
الإخلاصُ في كلامِهم هوالنيّة
Ikhlas dalam pandangan ulama adalah niat.

Rasulullah bersabda :
إنّما الأعمالُ بالنيّةِ (رواه الأَئمة الستّة)
“Sesungguhnya semua amal-amalan itu tergantung pada niat.”

Lafadh ( إنّما )  dalam susunan kalimat di atas menunjukkan pada makna  Al-Hashru artinya pembatasan dengan penterjemahan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “hanya”, dalam kaidah disebutkan bahwa Al-Hashru mengandung makna menetapkan hukum yang disebutkan dan menafikan selainnya.
الأعمالُ   adalah bentuk jamak yang diawali dengan alif lam yang menunjukkan arti istighraq yang mengandung makna seluruh amal. Sementara yang dimaksud disini adalah semua amal syar’i yang membutuhkan niat. Jadi setiap amal harus ada niat dan tidak ada amal tanpa niat.

Mengaplikasikan  niat dalam melakukan suatu amal ibadah agar amal yang dilakukan tidak sia-sia, hal ini sangat penting karena makna niat sebenarnya tidak hanya sebatas bermaksud untuk melakukan suatu amal saja, melainkan amal tersebut harus bersandar dengan ketentuan yang sudah digariskan Islam.
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan
أنّ النيّةَ تَرْجع إلى الإخْلاصِ، وهو واحدٌ للواحدِ الذي لاشريكَ له
“Sesungguhnya niat itu kembali pada ikhlas, dan ikhlas adalah satu untuk Yang Satu tiada sekutu bagi-Nya.”

Imam Baidlawi berpendaapat
الإرادةُ المُتوجِّهةُ نحوَ الفعلِ    لابْتغاءِ رضاءِ الله وامْتثالِ حكمِه
“Maksud yang terarah dalam melaksanakan suatu amal ibadah  hanya mencari Keridhaan Allah dan dalam pelaksanaannya mentaati hukum-Nya.”

Dari kedua pendapat di atas jelas bahwasannya untuk dapat diterimanya amal  harus memenuhi persyaratan yang tekandung dalam makna niat tersebut, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa niat itu adalah satu untuk Yang Satu, mengandung pengertian bahwa amal harus sesuai dengan peraturan yang telah digariskan oleh yang Satu (risalah Islam sebagai hukum yang buat oleh Allah swt), sehingga untuk menuju Yang Satu tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan.
Senada dengan keterangan di atas yaitu yang disampaikan Imam Baidlawi bahwa berniat dengan maksud yang terarah hanya untuk meraih Ridha Allah SWT dan pula dalam amalnya tersebut mengikuti  dan tunduk pada  cara yang telah di gariskan Allah swt.
Dengan demikian bahwa apabila seorang muslim berniat untuk melakukan ibadah hanya menuju Ridha Allah tapi tanpa mengikuti tata cara ibadah yang di ajarkan Rasulullah saw maka dia tidak akan sampai amalnya kepada Allah swt karena persyaratan mutlak untuk tunduk pada hukum Allah tidak terpenuhi.
Imam Fudlail bin  ‘Iyad dalam menafsirkan ayat 2 surat Al-Mulku
 الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ‌

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun
“siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya” kalimat ini di tafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang yang melakukan amalnya dengan ikhlas dan benar, selanjutnya Imam Fudlail bin  ‘Iyad mengatakan :

إنّ العَملَ إذا كانَ خالِصًا ولَمْ يكُنْ صَوابًا لَمْ يُقْبَلْ، وإذا كان صَوابًا ولَمْ يكُنْ خالِصًا لَمْ يُقْبَلْ، حتّى يكونَ خالِصًا صَوابًا. ألخالص  أنْ يكونَ لله، والصَوابُ أنْ يكونَ على الكتابِ والسُنَّةِ

“Sesungguhnya apabila melaksanakan amal dengan ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima, apabila amal itu benar namun tidak ikhlas maka tidak akan diterima, sehingga amal yang diterima itu harus ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah karena Allah swt semata dan amal yang benar itu adalah sesuai dengan Kitab Allah swt dan Sunnah Rasulullah SAW.”

Al-Allamah Ibnu Qayyim berkomentar tentang niat : Sebagian Ulama Salaf mengatakan, tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil, melainkan  dibentangkan kepadanya dua catatan, yaitu  mengapa dan bagaimana? yakni mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukan?

Jadi sebagai seorang Ahlus-sunnah Wal Jama’ah dalam melakukan sebuah amal ibadah harus membersihkan tujuan yang lain kecuali hanya Allah semata dan amal ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan ketentuan Syari’at, tidak bisa seorang muslim melaksanakan ibadah hasil dari buah fikirannya sendiri yang mereka anggap baik.

Sebagai seorang muslim yang rendah hati mereka akan melihat ke diri sendiri dan bertanya, sudahkah amal ibadah yang dilakukannya seiring dengan ketentuan syari’at ataukah masih bersandar pada taqlid buta? sementara taqlid akan mengantarkan pada amal-amal muhdatsat (sesuatu hal baru yang diada-adakan menyerupai syari’at).

Di zaman sekarang ini kalau semua muslim jujur akan dirinya, tanpa disadari dan diketahui mayoritas mereka melaksanakan ibadahnya sudah banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah yang sebenarnya, hanya anehnya tatkala kebenaran yang bersandar kepada Rasul disampaikan mereka seolah menolaknya. Tapi penolakan mereka sangat bisa dimaklumi mungkin karena mereka belum mengetahui Islam yang sebenarnya.

Sebagai suatu bukti untuk perenungan, pelaksanaan shalat yang sehari-hari dilakukan, sudahkah yakin bahwa apa yang dilaksanakan telah sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW?, tatkala diajukan pertanyaan seperti ini mereka menjawab tidak tahuinilah potret kaum muslimin di akhir zaman.
2. Arti sebuah niat
Fungsi niat dalam ibadah sangatlah penting. Karena itu setiap muslim harus senantiasa memperbaiki niat dalam ibadahnya, yaitu ikhlas untuk Allah semata.
‘Umar ibnul Khaththab z berkata: Aku mendengar Nabi r bersabda:
“Amalan-amalan itu hanyalah tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang hanyalah mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Maka siapa yang amalan hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang dia tujukan/niatkan.”
Hadits yang agung di atas diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam beberapa tempat di kitab Shahih-nya (hadits no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953) dan Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya (no. 1908).
Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata tentang hadits ini: “Yahya bin Sa’id Al-Anshari bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dari ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi, dari ‘Umar ibnul Khaththab z. Dan tidak ada jalan lain yang shahih dari hadits ini kecuali jalan ini. Demikian yang dikatakan oleh ‘Ali ibnul Madini dan selainnya.” Al-Khaththabi berkata: “Aku tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ahli hadits dalam hal ini, sementara hadits ini juga diriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri dan selainnya.” Dan dikatakan: Hadits ini diriwayatkan dari jalan yang banyak akan tetapi tidak ada satupun yang shahih dari jalan-jalan tersebut menurut para huffadz (para penghafal hadits).
Kemudian setelah Yahya bin Sa’id Al-Anshari banyak sekali perawi yang meriwayatkan darinya, sampai dikatakan: Telah meriwayatkan dari Yahya Al-Anshari lebih dari 200 perawi. Bahkan ada yang mengatakan jumlahnya mencapai 700 rawi, yang terkenal di antaranya Malik, Ats-Tsauri, Al-Auza‘i, Ibnul Mubarak, Al-Laits bin Sa‘ad, Hammad bin Zaid, Syu‘bah, Ibnu ‘Uyainah dan selainnya.
Ulama bersepakat menshahihkan hadits ini dan menerimanya dengan penerimaan yang baik dan mantap. Al-Imam Al-Bukhari membuka kitab Shahih-nya dengan hadits ini dan menempatkannya seperti khutbah/mukaddimah bagi kitab beliau, sebagai isyarat bahwasanya setiap amalan yang tidak ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah I maka amalan itu batil, tidak akan diperoleh buah/hasilnya di dunia, terlebih lagi di akhirat. Karena itulah berkata Abdurrahman bin Mahdi: “Seandainya aku membuat bab-bab dalam sebuah kitab niscaya aku tempatkan pada setiap bab hadits Umar tentang amalan itu dengan niatnya.” Beliau juga mengatakan: “Siapa yang ingin menulis sebuah kitab maka hendaknya ia memulai dengan hadits .” (Jam’iul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab Al-Hambali, hal. 59-60. Muassasah Ar-Risalah, cet. ke-4, th. 1413 H/1993 M)
Hadits ini selain diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan para imam yang lain. Dan komentar tentang hadits ini kami cukupkan dengan menukil ucapan Ibnu Rajab Al-Hambali di atas karena terdapatnya kifayah (kecukupan/memadai).
Penjelasan Hadits
Dari hadits di atas kita pahami bahwasanya setiap orang akan memperoleh balasan dari amalan yang dilakukan sesuai dengan niatnya. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t telah berkata: “Setiap amalan yang dilakukan seseorang baik  berupa kebaikan ataupun kejelekan tergantung dengan niatnya. Apabila ia tujukan dengan perbuatan tersebut niatan/maksud yang baik maka ia mendapatkan kebaikan, sebaliknya bila maksudnya jelek maka ia mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” Beliau juga mengatakan: “Hadits ini mencakup di dalamnya seluruh amalan, yakni setiap amalan harus disertai niat. Dan niat ini yang membedakan antara orang yang beramal karena ingin mendapatkan ridha Allah I dan pahala di negeri akhirat, dengan orang yang beramal karena ingin dunia, baik berupa harta, kemuliaan, pujian, sanjungan, pengagungan dan selainnya.” (Makarimul Akhlaq, hal. 26 dan 27)
Di sini kita bisa melihat arti pentingnya niat sebagai ruh amal, inti dan sendinya. Amal menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya amal menjadi rusak karena niat yang rusak.
Dinukilkan dari sebagian salaf ucapan mereka yang bermakna: “Siapa yang senang untuk disempurnakan amalan yang dilakukannya maka hendaklah ia membaikkan niatnya. Karena Allah I memberi pahala bagi seorang hamba apabila baik niatnya, sampaipun satu suapan yang dia berikan (akan diberi pahala).”
Ibnul Mubarak t berkata: “Berapa banyak amalan yang sedikit bisa menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan yang besar bisa bernilai kecil karena niatnya.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 71)
Perlu diketahui, suatu perkara yang sifatnya mubah, pelakunya bisa diberi pahala karena niat yang baik. Seperti orang yang makan dan minum. Jika ia niatkan perbuatan tersebut dalam rangka membantunya untuk taat kepada Allah I dan bisa menegakkan ibadah kepada-Nya, maka orang tersebut akan diberi pahala. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t mengatakan: “Perkara mubah pada diri orang-orang yang khusus dari kalangan muqarrabin (mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Allah I) bisa berubah menjadi ketaatan dan qurubat (perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah I) karena niat.” (Madarijus Salikin 1/107)
Al-Imam An-Nawawi t dalam Syarah Shahih Muslim (7/92) ketika menjelaskan hadits:
“Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian (menggauli istri) ada sedekah.”
beliau menyatakan: “Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwasanya perkara-perkara mubah bisa menjadi amalan ketaatan dengan niat yang baik. Jima’ (bersetubuh) dengan istri bisa bernilai ibadah apabila seseorang meniatkan untuk menunaikan hak istri dan bergaul dengan cara yang baik terhadapnya sesuai dengan apa yang Allah I perintahkan. Atau ia bertujuan untuk mendapatkan anak yang shalih,  menjaga kehormatan diri atau istrinya, mencegah keduanya dari melihat perkara yang haram, berfikir kepada perkara haram atau berkeinginan melakukan perkara haram serta tujuan-tujuan tidak baik lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, 3/44)
Meluruskan Niat
Seorang hamba harus terus berupaya memperbaiki niat dan meluruskannya agar apa yang dia lakukan berbuah kebaikan. Dan memperbaiki niat ini perlu mujahadah (kesungguh-sungguhan dengan mencurahkan segala daya upaya). Karena sulitnya meluruskan niat ini sampai-sampai Sufyan Ats-Tsauri t berkata: “Bagiku, tidak ada suatu perkara yang paling berat untuk aku obati daripada meluruskan niatku, karena niat pada diriku itu bisa berubah-ubah.” (Hilyatul Auliya, 7/5 dan 62)
Dan niat itu harus ditujukan semata untuk Allah I, ikhlas karena mengharapkan wajah-Nya yang Mulia. Ibadah tanpa keikhlasan niat maka tertolak sebagaimana bila ibadah itu tidak mencocoki tuntunan Rasulullah r. Allah I berfirman tentang ikhlas dalam ibadah ini, yang artinya: “Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata dalam Majmu‘ Fatawa (10/49): “Mengikhlaskan agama untuk Allah I adalah pokok ajaran agama ini yang Allah I tidak menerima selainnya. Dengan ajaran agama inilah Allah I mengutus rasul yang pertama sampai rasul yang terakhir, yang karenanya Allah I menurunkan seluruh kitab. Ikhlas dalam agama merupakan perkara yang disepakati oleh para imam ahlul iman. Dan ia merupakan inti dakwah para nabi dan poros Al-Qur’an.”
Yang perlu diingat bahwasanya niat itu tempatnya di hati sehingga tidak boleh dilafadzkan dengan lisan. Bahkan termasuk perbuatan bid’ah bila niat itu dilafadzkan.
Pelajaran yang Dipetik dari Hadits Ini
1.    Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati.
2.    Wajib bagi seorang muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu disyariatkan atau tidak, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam hadits ditunjukkan bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan yang disyariatkan.
3.    Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita‘yin (ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan dalam niatnya shalat yang akan ia kerjakan, apakah shalat sunnah atau shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila ingin puasa maka ia harus menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha atau yang lainnya.
4.    Amal tergantung dari niat, meliputi sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat.
5.    Seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Namun perlu diingat, niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu menjadi ma’ruf (kebaikan), dan tidak menjadikan yang bid’ah menjadi sunnah.
6.    Wajibnya berhati-hati dari riya`, sum‘ah (beramal karena ingin didengar orang lain), dan tujuan dunia lainnya, karena perkara tersebut merusakkan ibadah kepada Allah I.
7.    Hijrah (berpindah) dari negeri kafir ke negeri Islam memiliki keutamaan yang besar dan merupakan ibadah bila diniatkan karena Allah I dan Rasul-Nya.
Wallahu a‘lam bish-shawab.