Jumat, 04 Desember 2015



SOSIOLOGI KURIKULUM

I.     PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman yang sangat pesat, tentunya juga akan berdampak pada perkembangan kurikulum di Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan zaman, yang akhirnya juga menyebabkan kurikulum harus dirombak sedemikian rupa agar sesuai dengan perubahan zaman. Masalahnya, merombak kurikulum yang sudah ada tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak pula faktor-faktor yang menjadi penghambatnya, salah satu diantaranya adalah faktor sosiologis yang berhubungan langsung dengan masyarakat awam.
Kebudayaan yang sudah melekat di masyarakat menyebabkan sukarnya mengubah tatanan kurikulum yang ada, seperti paham kepercayaan pada mitos yang sudah melekat erat pada setiap suku bangsa di Indonesia ini. Maka dari itu untuk mengubah kurikulum, diperlukan suatu kerja sama yang baik antara pihak sekolah dan pemerintah.
Pengubahan pada kurikulum kenyataannya sangat diperlukan guna memenuhi tuntutan masyarakat agar tidak terjadi kepincangan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan realita di masyarakat yang semakin modern. Jika hal itu terjadi, maka akan sis-sia saja pembelajaran yang dilakukan di sekolah sebab siswa tetap tidak memperolah pengetahuan yang seharusnya diperlukan untuk kehidupan sehari-hari mereka dan untuk masa depan mereka.
B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Definisi Sosiologi Kurikulum
2.      Bagaimana Latar Belakang Munculnya Sosiologi Kurikulum
3.      Bagaimana Sekolah Masyarakat
4.      Bagaimana Peran Kurikulum dalam Membangun Masyarakat Indonesia
5.      Bagaimana Perubahan Kurikulum
6.      Bagaimana Implikasi Sosial
II. PEMBAHASAN
A.       Definisi Sosiologi Kurikulum
 Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandang, metode, serta sususan pengetahuan dan objeknya adalah tingkah laku manusia dalam kelompok.[1]
Kurikulum adalah situasi kelompok yang tersedia bagi guru dan pengurus sekolah (administrator) untuk membuat tingkah laku yang berubah di dalam arus yang tidak putus-putus dari anak-anak dan pemuda yang melalui pintu sekolah.[2]
Dengan demikian, sosiologi kurikulum adalah tingkah laku manusia yang bisa dirubah melalui pintu sekolah atau pendidikan.
B.       Latar Belakang Munculnya Sosiologi Kurikulum
 Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin, yaitu “curriculae” yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa. Dengan program itu para siswa mampu melakukan berbagai kegiatan, sehingga terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa, sesuai dengan tujuan pendidikan pembelajaran.
Pada zaman dahulu waktu manusia masih hidup pada kelompok-kelompok kecil dan sederhana, pendidikan anak-anak untuk kehidupannya dalam masyarakat itu diselenggarakan di luar sekolah. Segala sesuatu yang perlu bagi pendidikannya diperoleh anak-anak dari orang-orang disekitar lingkungannya tanpa pendidikan formal di sekolah. Mereka hanya meniru dan mengikuti kelakuan dan cara-cara orang dewasa, sehingga mereka pandai mengolah tanah, memancing, dan berburu.
Kurikulum mata pelajaran yang tradisional, awal mulanya di abad pertengahan, yang dikenal dengan sebutan “seven liberal arts” (tujuh pengetahuan umum). Oleh St Augustine didalam bukunya “Retraction” menyebutkan dengan tujuh disiplin (seven discipline). Seven liberal arts tadi bukanlah sekedar suatu latihan mata pelajaran, tetapi berkaitan erat dengan peranan dan fungsi seseorang setidak-tidaknya dalam tiga profesi penting. Dari ketujuh disiplin (disebut trivium), pada dasarnya merupakan telaah bahasan, yaitu terdiri dari tata bahasa, retorika, logika atau dialektika. Trivium tersebut merupakan prasyarat untuk melanjutkan keempat disiplin berikutnya. Keempat disiplin berikutnya (disebut quadrivium), yaitu ilmu hitung, geometri, astronomi, dan seni musik.
Akan tetapi setelah masyarakat mengalami perubahan dan kemajuan, maka pendidikan seperti itu tidak serasi lagi, anak-anak harus memiliki berbagai macam keterampilan dan sejumlah besar pengetahuan agar hidupnya terjamin. Dengan perkembangan zaman tersebut untuk membekali siswa maka harus ada sosiologi kurikulum yang tinggi.
Dalam sejarah perkembangannya yaitu setelah abad ke-17, kurikulum juga sudah mulai menyebar kepada pembicaraan mengenai metode pembelajaran. Sebagaiamana diketahui, pada kurikulum tradisional, begitu mapannya metode tradisional, seperti dekte, menghafal, dan meniru.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Locke, dimana dia menginginkan berkurangnya kurikulum tradisional. Namun, setelah berakhirnya reformasi pada tahun 1832 terjadi sebuah kebutuhan yang meningkat terhadap sekolah yang bertipe komersial, dimana mata pelajaran tersebut dilengkapi dengan hal-hal yang jelas dan bermanfaat untuk usaha bisnis.
Pada laporannya, Hadow menekankan mengenai suatu kurikulum Sekolah Dasar, seperti yang tertuang pada laporan Hadow dimana laporan mengenai kurikulum Sekolah Dasar ini, memang tak ada yang mengejutkan sebab relative serupa dengan pemikiran-pemikirannya dengan laporan sebelumnya tentang kurikulum Sekolah Dasar. Dalam hubungan tersebut, yang menjadi pokok perhatiannya ialah mengenai penumbuhan pengalaman para murid (dengan memperkaya dan memperluas pengajaran sehari-hari murid dengan kondisi lingkungannya). Dengan demikian, tekanannya terletak pada tingkah laku nyata murid dalam kehidupan daripada kecerdasan akademisnya.
Berikutnya, laporan Spens, kembali membenarkan hasil-hasil serta pemikiran panitia. Panitia Spens juga setuju dengan corak pendidikan yang dirancang supaya lebih dekat kaitannya dengan tugas-tugas praktis kehidupan, dan harus pula memperhitungkan kebutuhan pengisian waktu luang para siswa. Disamping itu, Norwood menambahkan pertimbangan dalam laporannya mengenai kemungkinan terbatasnya alokasi sajian pelajaran, apabila mata pelajaran senantiasa ditambah atau diperbanyak terus. Dalam hal ini Norwood dan kawan-kawan beranggapan bahwa hal yang penting adalah pemberian pengalaman belajar yang biasa mengantar para siswa menjadi lebih memahami permasalahan-permasalahan kehidupan di dalam konteks lingkungannya.
Menurut Norwood dan kawan-kawannya, mengatakan bahwa kurikulum persekolahan hendaknya mengandung:
1.         Upaya pembinaan rasa tanggung jawab dan menghargai akal budi.
2.         Menumbuhkan sikap mandiri di dalam melakukan telaahan serta mengembangkan kekuatan intelektual yang bebas dan bertanggung jawab.
3.         Memberikan sejumlah pengetahuan dan pengertian tentang fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang menentukan dunia kehidupan yang bakal dialami.
4.         Mengembangkan kemampuan murid untuk menyadari masalah-masalah dan resiko yang bakal muncul didalam pengambilan tindakan atau pilihan disepanjang hidup kelak.
Tiga butir pertama tadi, menurut mereka bisa dicapai secara efektif melalui kegiatan belajar struktur sehari-hari di sekolah. Sedangkan butir keempat, pembinaannya melalui kegiatan kemasyarakatan/kesiswaan disekolah.
Selanjutnya dalam laporan Newson (Newson Report) 1963, didalamnya banyak memuat tentang konten dan sifat kurikulum masa lampau beserta metode pengajarannya. Dengan peledakan pengetahuan yang berlangsung masa kini, menghajatkan suatu kurikulum baru dan pendekatan baru. Dalam laporan Newson, tujuan kurikulum baru haruslah:
1.         Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar.
2.         Mengembangkan keterampilan berfikir, hasrat ingin tahu, serta kemampuan diskriminasi dan mengambil keputusan.
3.         Membina kesadaran moral dan tingkah laku sosial.
4.         Menanamkan pengertian mengenai dunia fisik dan dunia masyarakat Indonesia.
5.         Mengembangkan rasa tanggung jawab pribadi dan sosial.
Di samping itu, khusus mengenai pendidikan dasar laporan Plowden menyatakan bahwa tujuan yang jelas dari Sekolah Dasar ialah guna menyiapkan anak-anak terjun kedalam masyarakat.
Pada tahun 1967, Kantor Pendidikan (School Council), menerbitkan kertas kerja penting yang diberi judul “Society and the Young School Leaver”. Dimana kertas tersebut berisikan sebuah usulan dimana supaya mengembangkan area-area pengamatan secara interdisipliner di dalam lingkup Humanitas. Tujuan tersebut disebutkan secara spesifik, yaitu:
1.    Menumbuhkan rasa toleransi, kesanggupan untuk berfikir sederhana, dan mengikis prasangka didalam memberikan pertimbangan nilai.
2.    Membantu mencapai kematangan pribadi anak-anak.
3.    Membantu murid-murid supaya berhasil menyesuaikan diri dengan masyarakat sekolahnya.
4.    Membantu anak-anak agar menyadari kepentingan masyarakat, dan menghayati masyarakatnya sendiri.
5.    Mengembangkan kemampuan intelektual anak sehingga bisa memahami kompleksitas dan totalitas lingkungan sosial dan peradabannya.
6.    Menanamkan nilai, sikap, dan kemampuan untuk belajar. [3]

C.       Sekolah Masyarakat
Sekolah ini bersifat life-centered. Masyarakat dipandang sebagai laboratorium dimana anak belajar, menyelidiki, dan turut serta dalam usaha-usaha masyarakat yang mengandung unsur pendidikan.  Sekolah ini mengikut sertakan orang banyak dalam proses pendidikan dalam mempelajari problema-problema sosial. Dengan demikian terbukalah pintu antara sekolah dengan masyarakat.
1.       Ciri-ciri sekolah masyarakat
Ciri-ciri sekolah ini tidak ditentukan oleh tempatnya, bentuk atau besarnya. Menurut Olsen ciri sekolah masyarakat ini adalah sebagai berikut :
a)        Sekolah itu untuk memperbaiki kehidupan setempat
b)        Sekolah itu menggunakan masyarakat  laboratorium untuk belajar
c)        Gedung sekolah menjadi pusat kegiatan masyarakat
d)       Sekolah itu mendasarkan proses-proses dan problema-problema kehidupan dalam masyarakat
e)        Sekolah itu mengikut sertakan orang tua dalam urusan-urusan sekolah
f)         Sekolah itu ikut serta mengkoordinasikan masyarakat
2.       Pembagian kurikulum
Di Amerika terdapat tiga pembagian kurikulum, yaitu sebagai berikut :
a)    The Classical Curriculum
Yaitu kurikulum yang bersifat tradisional, menekankan kepada bahasa asing, bahasa kuno, sejarah kesusasteraan, matematika dan ilmu yang murni.
b)   The Vocational Curriculum
Yaitu kurikulum yang pada prinsipnya menyiapkan mahasiswa untuk bekerja, dan dapat hidup layak dimasyarakat.
c)   Life Adjustment Curriculum
Yaitu kurikulum yang dititik beratkan untuk pembangunan kepribadian mahasiswa dan kegunaan social dari apa yang dipelajari dalam life experience curriculum.
3.       Perkembangan kurikulum
Pada bahasan mengenai sosiologi kurikulum ini, perhatiannya terutama ditujukan terhadap pengaruh social kurikulum itu sendiri, dan hubungannya antara kurikulum dengan kebutuhan serta tuntutan masyarakat. Dengan uraian ringkas dimaksud, tentunya dapat membantu untuk melihat secara lebih jelas tentang bagaimanakah pengaruh tekanan masyarakat terhadap sekolah dan kurikulum yang tradisional.
D.      Peran Kurikulum dalam Membangun Masyarakat Indonesia
Pada pembahasan ini akan menempatkan kurikulum sebagai suatu jangkauan perspektif yang lebih luas, bukan sekedar dikaitkan dengan upaya pendidikan di dalam sistem persekolahan, tetapi dikaitkan pula dengan kepribadian bangsa. Misalnya melalui ceramah, wayang, komik, drama, yang  didalamnya mengandung satu pesan tentang kepribadian bangsa.
Segala macam upaya pembinaan kepribadian bangsa tersebut, baik  yang berlangsung di dalam maupun di luar sekolah, semuanya mengandung pesan dan misi pendidikan tertentu. Pesan inilah yang akhirnya disebut sebagai kurikulum.
Kurikulum pembinaan bangsa dalam artian yang luas inilah yang menjadi perhatian saat ini. Dimana kurikulum saat ini harus dimodifikasi sedemikian rupa agar lebih sejalan dengan masyarakat yang maju dan modern.
Fungsi kurikulum bagi masyarakat, sesunguhnya juga akan menggambarkan fungsi sekolah bagi masyarakat. Artinya, kurikulum akan mengambarkan berbagai muatan yang akan diemban oleh sekolah.
Ada anggapan masyarakat yang menganggap bahwa fungsi sekolah adalah menjadi inspirattor dan menjadi motor penggerak (agent of change) bagi setiap perubahan. Jika demikian, tentu akan sangat banyak yang diharapkan masyarakat dari sekolah. John Dewey mengemukakan bahwa lembaga pendidikan sekolah adalah institusi yang paling efektif untuk melakukan rekonstruksi dan memperbaiki masyarakat melalui pendidikan individu. Bahkan G.S.Counts lebih jauh dari itu; dengan mengemukakan bahwa ”pendidikan tidak hanya harus membawa perubahan dalam masyarakat akan tetapi mengubah tata sosial dan mengatur perubahan sosial.”[4] Jika demikian fungsi dan tugas yang diemban sekolah, maka hal itu sangat tergantung kepada kurikulum, karena kurikulum adalah pedoman dari semua kegiatan pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kurikulum berperan sangat besar dalam mempercepat terjadinya proses perubahan sosial di dalam masyarakat. Teori sosiologi mengatakan bahwa: Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan, Perubahan mana dapat berupa perubahan yang tidak menarik atau kurang mencolok. Ada pula perubahan–perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun amat luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali akan tetapi ada pula perubahan yang amat cepat.[5] Ini pula yang menjadi salah satu alasan mengapa kemudian kurikulum perlu dikembangkan atau bahkan mungkin diadakan perubahan. Hal itu semata-mata karena terjadinya dinamika dalam kehidupan sosial masyarakat.
Seiring dengan itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan di bidang teknologi ini telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang sangat fantastis, drastis dan signifikan dalam kehidupan umat manusia di hampir segala aspek kehidupan (Bastian, 2002).
Membangun masyarakat melalui pendidikan adalah keharusan yang sangat mendesak dan tidak boleh ditawar-tawar. Bastian (2002:13) mengemukakan bahwa : ”Bangsa yang tidak mampu untuk mengantisipasi perkembangan disebabkan kesalahan sistem pendidikannya yang tidak berorientasi pada pengembangan potensi pembawaan generasi mudanya secara maksimal.” Sistem pendidikan sangat tergantung dari cara pandang suatu bangsa akan pengertian apa sebenarnya hakikat pendidikan tersebut.

E.       Perubahan Kurikulum
Istilah kurikulum lazimnya dikaitkan dengan isi atau program pendidikan di lembaga persekolahan. Istilah kurikulum ditempatkan dalam suatu jangkauan perspektif yang lebih luas, bukan sekedar dikaitkan dengan upaya pendidikan dalam sistem persekolahan, tetapi dikaitkan dengan segala macam upaya yang membawa misi pembinaan kepribadian bangsa.Segala macam usaha pembinaan kepribadian bangsa yang dimaksud, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar sekolah, kesemuanya terkandung dan membawa misi atau pesan pendidikan tertentu, misi atau pesan itulah yang dimaksudkan dengan kurikulum.
Sesuai dengan kemajuan zaman, kurikulum sudah saatnya dinilai dan selanjutnya dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga lebih sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.
Dalam hubungannya dengan pembaharuan kurikulum, sebagaimana diajukan komisi kerajaan Inggris, Hadow di dalam laporannya mendesak perlunya menawarkan pelajaran realistis dan praktis sebagai suatu bagian pendidikan umum daripada menyelenggarakan pendidikan teknik atau pendidikan keterampilan sendiri. Dalam laporan itu Hadow juga menekankan suatu kurikulum yang memperhatikan minat dan kapasitas perseorangan murid. Dengan istilah yang tegas dan memikat, Hadow mendesak adanya kurikulum persekolahan yang membuka peluang seluas-luasnya kepada pengembangan minat anak-anak sehingga memberi suatu suasana yang menyenangkan bagi murid-murid.
Untuk memperlancar gerak maju bangsa ini, rasanya sangat mendesak untuk mengubah kurikulum kemasyarakatan yang terpakai sekarang ini. Dalam hubungan ini tentu saja diperlukan pengkajian yang cermat tentang ciri tatanan dan mentalitas maju/modern itu sendiri. Di samping itu, juga diperlukan penelitian dan analisis yang cermat tentang dosis dari aspek-aspek yang di kurikulumkan selama ini, mana yang dosisnya berlebihan, memadai, dan kekurangan.
Bertolak dari dua macam informasi kunci tersebut, berikutnya tinggal menetapkan kurikulum baru dalam rangka pembinaan dan pengembangan bangsa ini. Dalam hubungan ini diperlukan keberanian sikap untuk menentukan pilihan dan keputusan tentang aspek mana yang perlu dikurangi dosisnya, aspek mana yang perlu ditambah dosisnya, dan aspek mana yang untuk sementara dapat diabaikan sama sekali.
Katakanlah kurikukum baru yang dimaksud sudah ditetapkan. Persoalannya sekarang adalah, bagaimana memobilisir pranata-pranata kemasyarakatan yang ada guna menerapkan kurikulum baru tadi. Inilah persoalan yang paling sulit, karena tidak mudah menggerakkan para kepala sekolah dan guru dalam rangka mernerapkan kurikulum baru di sistem persekolahan. Walaupun demikian, semuanya banyak bergantung pada tekat pemerintah, dan apakah pemerintah mau melakukan perubahan kurikulum untuk pendidikan Indonesia.
F.        Implikasi Sosial
Bila diamati perkembangan suatu masyarakat, akan terlihat jelas adanya peningkatan dan perluasan didalam hal pengetahuan dan kemampuan mengendalikan lingkungan. Dalam konteks perkembangan masyarakat, lembaga pendidikan mau tidak mau harus berperan sebagai media penerus kemampuan-kemampuan yang berkembang dimasyarakatnya.
Berdasarkan kacamata sosiologi, sebagaimana dinyatakan oleh penganut-penganut Durkhiem, seseorang dididik dalam konteks masyarakatnya, dan hidup didalam konteks masyarakatnya, oleh sebab itu pendidikan tidak layak berada ditempat yang terasing dengan masyarakat. Atas dasar itu relevan atau tidak, praktis atau tidak dan berguna atau tidak sajian pendidikan yang diberikan. Pendidikan merupakan suatu hal yang harus difikirkan dan dirancang sejalan dengan kebutuhan atau tuntutan obyektif yang berkembang dimasyarakat.
Untuk zaman sekarang pendidikan bertugas menghantarkan anak didik kedunia masyarakat dan dunia pengetahuan, agar mereka memiliki bekal untuk hidup selaku masyarakat atau warga negara. Relevansi sosial dari apa yang diajarkan, merupakan hal penting yang tidak dapat diabaikan dalam pengembangan kurikulum. Dalam hal ini sering sekali terjadi kekurangan antara apa yang dibutuhkan masyarakat dengan apa yang diajarkan disekolah.[6]

KESIMPULAN
Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandang, metode, serta sususan pengetahuan dan objeknya adalah tingkah laku manusia dalam kelompok.
Kurikulum adalah situasi kelompok yang tersedia bagi guru dan pengurus sekolah (administrator) untuk membuat tingkah laku yang berubah di dalam arus yang tidak putus-putus dari anak-anak dan pemuda yang melalui pintu sekolah.
Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin, yaitu “curriculae” yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa. Dengan program itu para siswa mampu melakukan berbagai kegiatan, sehingga terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa, sesuai dengan tujuan pendidikan pembelajaran.
Menurut Norwood dan kawan-kawannya, mengatakan bahwa kurikulum persekolahan hendaknya mengandung :
“Upaya pembinaan rasa tanggung jawab dan menghargai akal budi,  menumbuhkan sikap mandiri di dalam melakukan telaahan serta mengembangkan kekuatan intelektual yang bebas dan bertanggung jawab,  memberikan sejumlah pengetahuan dan pengertian tentang fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang menentukan dunia kehidupan yang bakal dialami,  mengembangkan kemampuan murid untuk menyadari masalah-masalah dan resiko yang bakal muncul didalam pengambilan tindakan atau pilihan disepanjang hidup kelak.
Dalam laporan newson, tujuan kurikulum baru haruslah :mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar,mengembangkan keterampilan berfikir, hasrat ingin tahu, serta kemampuan diskriminasi dan mengambil keputusan,   membina kesadaran moral dan tingkah laku sosial,   menanamkan pengertian mengenai dunia fisik dan dunia masyarakat indonesia dan  mengembangkan rasa tanggung jawab pribadi dan sosial.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. “SosiologiPendidikan”.  Jakarta : Rineka Cipta, Tahun 2007
Brown.” Educational Sosiology.”Tokyo: University Book Store, Tahun 1961
M. Noor Syam Drs, dkk.” Dasar-Dasar Pendidikan.” Surabaya: Usana Offset Printing. Tahun 1980
Nasution, S..”Sosiologi Pendidikan”. Jakarta: Bumi Aksara. Tahun 2004
Soerjono Soekanto.” Sosiologi SuatuPengantar”. Jakarta: CV Rajawali. Tahun 1996




[1] Abu Ahmadi. 2007. SosiologiPendidikan. Jakarta: RinekaCipta. hal 2.
[2] Brown. 1961. Educational Sosiology.Tokyo: University Book Store

[3] Drs. M. Noor Syam, dkk. 1980. Dasar-DasarPendidikan. Surabaya: Usana Offset Printing. Hal.124-127.

[4] Nasution, S. 2004. SosiologiPendidikan. Jakarta: BumiAksara. Hal: 157.

[5] SoerjonoSoekanto. 1996. SosiologiSuatuPengantar. Jakarta: CV Rajawali. Bab 6.
[6] Drs. M. Noor Syam, dkk. 1980. Dasar-DasarPendidikan. Surabaya: Usana Offset Printing. Hal.128-130.