SOSIOLOGI KURIKULUM
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman yang sangat pesat, tentunya
juga akan berdampak pada perkembangan kurikulum di Indonesia. Banyak faktor
yang mempengaruhi perkembangan zaman, yang akhirnya juga menyebabkan kurikulum
harus dirombak sedemikian rupa agar sesuai dengan perubahan zaman. Masalahnya,
merombak kurikulum yang sudah ada tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak
pula faktor-faktor yang menjadi penghambatnya, salah satu diantaranya adalah
faktor sosiologis yang berhubungan langsung dengan masyarakat awam.
Kebudayaan yang sudah melekat di masyarakat menyebabkan sukarnya mengubah tatanan kurikulum yang ada, seperti paham kepercayaan pada mitos yang sudah melekat erat pada setiap suku bangsa di Indonesia ini. Maka dari itu untuk mengubah kurikulum, diperlukan suatu kerja sama yang baik antara pihak sekolah dan pemerintah.
Kebudayaan yang sudah melekat di masyarakat menyebabkan sukarnya mengubah tatanan kurikulum yang ada, seperti paham kepercayaan pada mitos yang sudah melekat erat pada setiap suku bangsa di Indonesia ini. Maka dari itu untuk mengubah kurikulum, diperlukan suatu kerja sama yang baik antara pihak sekolah dan pemerintah.
Pengubahan pada kurikulum
kenyataannya sangat diperlukan guna memenuhi tuntutan masyarakat agar tidak
terjadi kepincangan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan realita di
masyarakat yang semakin modern. Jika hal itu terjadi, maka akan sis-sia saja
pembelajaran yang dilakukan di sekolah sebab siswa tetap tidak memperolah
pengetahuan yang seharusnya diperlukan untuk kehidupan sehari-hari mereka dan
untuk masa depan mereka.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi Sosiologi Kurikulum
2. Bagaimana Latar Belakang Munculnya Sosiologi Kurikulum
3. Bagaimana Sekolah Masyarakat
4.
Bagaimana Peran Kurikulum dalam Membangun Masyarakat
Indonesia
5.
Bagaimana Perubahan Kurikulum
6. Bagaimana Implikasi Sosial
II. PEMBAHASAN
A.
Definisi Sosiologi Kurikulum
Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang memiliki lapangan penyelidikan,
sudut pandang, metode, serta sususan pengetahuan dan objeknya adalah tingkah laku manusia dalam kelompok.[1]
Kurikulum
adalah situasi kelompok yang tersedia bagi guru dan pengurus sekolah
(administrator) untuk membuat tingkah laku yang berubah di dalam arus yang
tidak putus-putus dari anak-anak dan pemuda yang melalui
pintu sekolah.[2]
Dengan
demikian, sosiologi kurikulum adalah tingkah laku manusia yang bisa dirubah
melalui pintu sekolah atau pendidikan.
B.
Latar Belakang Munculnya Sosiologi Kurikulum
Istilah kurikulum berasal dari bahasa
latin, yaitu “curriculae” yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh
pelari. Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk
membelajarkan siswa. Dengan program itu para siswa mampu melakukan berbagai kegiatan,
sehingga terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa, sesuai dengan
tujuan pendidikan pembelajaran.
Pada zaman
dahulu waktu manusia masih hidup pada kelompok-kelompok kecil dan sederhana,
pendidikan anak-anak untuk kehidupannya dalam masyarakat itu diselenggarakan di
luar sekolah. Segala sesuatu yang perlu bagi pendidikannya diperoleh anak-anak
dari orang-orang disekitar lingkungannya tanpa pendidikan formal di sekolah. Mereka
hanya meniru dan mengikuti kelakuan dan cara-cara orang dewasa, sehingga mereka
pandai mengolah tanah, memancing, dan berburu.
Kurikulum mata
pelajaran yang tradisional, awal mulanya di abad pertengahan, yang dikenal
dengan sebutan “seven liberal arts” (tujuh pengetahuan umum). Oleh St Augustine
didalam bukunya “Retraction” menyebutkan dengan tujuh disiplin (seven
discipline). Seven liberal arts tadi bukanlah sekedar suatu latihan mata
pelajaran, tetapi berkaitan erat dengan peranan dan fungsi seseorang
setidak-tidaknya dalam tiga profesi penting. Dari ketujuh disiplin (disebut
trivium), pada dasarnya merupakan telaah bahasan, yaitu terdiri dari tata
bahasa, retorika, logika atau dialektika. Trivium tersebut merupakan prasyarat
untuk melanjutkan keempat disiplin berikutnya. Keempat disiplin berikutnya
(disebut quadrivium), yaitu ilmu hitung, geometri, astronomi, dan seni musik.
Akan tetapi
setelah masyarakat mengalami perubahan dan kemajuan, maka pendidikan seperti
itu tidak serasi lagi, anak-anak harus memiliki berbagai macam keterampilan dan
sejumlah besar pengetahuan agar hidupnya terjamin. Dengan perkembangan zaman
tersebut untuk membekali siswa maka harus ada sosiologi kurikulum yang tinggi.
Dalam sejarah
perkembangannya yaitu setelah abad ke-17, kurikulum juga sudah mulai menyebar
kepada pembicaraan mengenai metode pembelajaran. Sebagaiamana diketahui, pada
kurikulum tradisional, begitu mapannya metode tradisional, seperti dekte,
menghafal, dan meniru.
Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Locke, dimana dia menginginkan berkurangnya kurikulum
tradisional. Namun, setelah berakhirnya reformasi pada tahun 1832 terjadi
sebuah kebutuhan yang meningkat terhadap sekolah yang bertipe komersial, dimana
mata pelajaran tersebut dilengkapi dengan hal-hal yang jelas dan bermanfaat
untuk usaha bisnis.
Pada
laporannya, Hadow menekankan mengenai suatu kurikulum Sekolah Dasar, seperti
yang tertuang pada laporan Hadow dimana laporan mengenai kurikulum Sekolah
Dasar ini, memang tak ada yang mengejutkan sebab relative serupa dengan
pemikiran-pemikirannya dengan laporan sebelumnya tentang kurikulum Sekolah
Dasar. Dalam hubungan tersebut, yang menjadi pokok perhatiannya ialah mengenai
penumbuhan pengalaman para murid (dengan memperkaya dan memperluas pengajaran
sehari-hari murid dengan kondisi lingkungannya). Dengan demikian, tekanannya terletak
pada tingkah laku nyata murid dalam kehidupan daripada kecerdasan akademisnya.
Berikutnya,
laporan Spens, kembali membenarkan hasil-hasil serta pemikiran panitia. Panitia
Spens juga setuju dengan corak pendidikan yang dirancang supaya lebih dekat kaitannya
dengan tugas-tugas praktis kehidupan, dan harus pula memperhitungkan kebutuhan
pengisian waktu luang para siswa. Disamping itu, Norwood menambahkan
pertimbangan dalam laporannya mengenai kemungkinan terbatasnya alokasi
sajian pelajaran, apabila
mata pelajaran senantiasa ditambah atau diperbanyak terus. Dalam hal ini
Norwood dan kawan-kawan beranggapan bahwa hal yang penting adalah pemberian
pengalaman belajar yang biasa mengantar para
siswa menjadi lebih memahami permasalahan-permasalahan kehidupan di dalam
konteks lingkungannya.
Menurut Norwood
dan kawan-kawannya, mengatakan bahwa kurikulum persekolahan hendaknya
mengandung:
1.
Upaya pembinaan
rasa tanggung jawab dan menghargai akal budi.
2.
Menumbuhkan
sikap mandiri di dalam melakukan telaahan serta mengembangkan kekuatan
intelektual yang bebas dan bertanggung jawab.
3.
Memberikan
sejumlah pengetahuan dan pengertian tentang fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa
yang menentukan dunia kehidupan yang bakal dialami.
4.
Mengembangkan
kemampuan murid untuk menyadari masalah-masalah dan resiko yang bakal muncul didalam
pengambilan tindakan atau pilihan disepanjang hidup kelak.
Tiga butir
pertama tadi, menurut mereka bisa dicapai secara efektif melalui kegiatan
belajar struktur sehari-hari di sekolah. Sedangkan butir keempat, pembinaannya melalui
kegiatan kemasyarakatan/kesiswaan disekolah.
Selanjutnya
dalam laporan Newson (Newson Report) 1963, didalamnya banyak memuat tentang
konten dan sifat kurikulum masa lampau beserta metode pengajarannya. Dengan
peledakan pengetahuan yang berlangsung masa kini, menghajatkan suatu
kurikulum baru dan pendekatan baru. Dalam laporan Newson, tujuan kurikulum baru
haruslah:
1.
Mengembangkan
keterampilan-keterampilan dasar.
2.
Mengembangkan
keterampilan
berfikir, hasrat ingin tahu, serta kemampuan diskriminasi dan mengambil
keputusan.
3.
Membina
kesadaran moral dan tingkah laku sosial.
4.
Menanamkan
pengertian mengenai dunia fisik dan dunia masyarakat Indonesia.
5.
Mengembangkan
rasa tanggung jawab pribadi dan sosial.
Di samping itu,
khusus mengenai pendidikan dasar laporan Plowden menyatakan bahwa tujuan yang
jelas dari Sekolah Dasar ialah guna menyiapkan anak-anak terjun kedalam
masyarakat.
Pada tahun
1967, Kantor Pendidikan (School Council), menerbitkan kertas kerja penting yang
diberi judul “Society and the Young School Leaver”. Dimana kertas tersebut
berisikan sebuah usulan dimana supaya mengembangkan area-area pengamatan secara
interdisipliner di dalam lingkup Humanitas. Tujuan tersebut disebutkan secara
spesifik, yaitu:
1. Menumbuhkan rasa
toleransi, kesanggupan untuk berfikir sederhana, dan mengikis prasangka didalam
memberikan pertimbangan nilai.
2.
Membantu mencapai kematangan pribadi anak-anak.
3.
Membantu murid-murid supaya berhasil menyesuaikan diri dengan masyarakat
sekolahnya.
4. Membantu anak-anak
agar menyadari kepentingan masyarakat, dan menghayati masyarakatnya sendiri.
5. Mengembangkan
kemampuan intelektual anak sehingga bisa memahami kompleksitas dan totalitas
lingkungan sosial dan peradabannya.
C. Sekolah Masyarakat
Sekolah ini bersifat life-centered. Masyarakat dipandang sebagai laboratorium dimana anak belajar, menyelidiki, dan turut serta dalam usaha-usaha
masyarakat yang mengandung unsur pendidikan. Sekolah ini mengikut sertakan
orang banyak dalam proses pendidikan dalam mempelajari problema-problema sosial.
Dengan demikian terbukalah pintu antara sekolah dengan masyarakat.
1. Ciri-ciri sekolah masyarakat
Ciri-ciri sekolah ini tidak ditentukan oleh tempatnya,
bentuk atau besarnya. Menurut Olsen ciri sekolah masyarakat ini adalah sebagai berikut :
a) Sekolah itu untuk memperbaiki kehidupan setempat
b) Sekolah itu menggunakan masyarakat
laboratorium untuk belajar
c) Gedung sekolah menjadi pusat kegiatan masyarakat
d) Sekolah itu mendasarkan
proses-proses dan problema-problema kehidupan dalam masyarakat
e) Sekolah itu mengikut sertakan orang
tua dalam urusan-urusan sekolah
f)
Sekolah itu ikut serta mengkoordinasikan masyarakat
2. Pembagian kurikulum
Di Amerika terdapat tiga pembagian kurikulum,
yaitu sebagai berikut :
a) The Classical
Curriculum
Yaitu kurikulum yang
bersifat tradisional,
menekankan kepada bahasa asing, bahasa kuno, sejarah kesusasteraan,
matematika dan ilmu yang
murni.
b) The Vocational Curriculum
Yaitu kurikulum yang pada
prinsipnya menyiapkan mahasiswa untuk bekerja, dan dapat hidup layak
dimasyarakat.
c) Life Adjustment
Curriculum
Yaitu kurikulum yang
dititik beratkan untuk pembangunan kepribadian mahasiswa dan kegunaan social dari apa yang
dipelajari dalam life experience curriculum.
3. Perkembangan kurikulum
Pada bahasan mengenai sosiologi kurikulum ini,
perhatiannya terutama ditujukan terhadap pengaruh social kurikulum itu sendiri, dan hubungannya antara kurikulum dengan kebutuhan serta tuntutan masyarakat. Dengan uraian ringkas dimaksud, tentunya dapat membantu untuk
melihat secara lebih jelas tentang bagaimanakah pengaruh tekanan masyarakat terhadap
sekolah dan kurikulum yang tradisional.
D.
Peran Kurikulum dalam Membangun Masyarakat
Indonesia
Pada pembahasan
ini akan menempatkan kurikulum sebagai suatu jangkauan perspektif yang lebih
luas, bukan sekedar dikaitkan dengan upaya pendidikan di dalam sistem
persekolahan, tetapi dikaitkan pula dengan kepribadian bangsa. Misalnya melalui
ceramah, wayang, komik, drama, yang didalamnya mengandung satu pesan
tentang kepribadian bangsa.
Segala macam
upaya pembinaan kepribadian bangsa tersebut, baik yang berlangsung di
dalam maupun di luar sekolah, semuanya mengandung pesan dan misi pendidikan
tertentu. Pesan inilah yang akhirnya disebut sebagai kurikulum.
Kurikulum
pembinaan bangsa dalam artian yang luas inilah yang menjadi perhatian saat ini.
Dimana kurikulum saat ini harus dimodifikasi sedemikian rupa agar lebih sejalan
dengan masyarakat yang maju dan modern.
Fungsi
kurikulum bagi masyarakat, sesunguhnya juga akan menggambarkan fungsi sekolah
bagi masyarakat. Artinya, kurikulum akan mengambarkan berbagai muatan yang akan
diemban oleh sekolah.
Ada anggapan
masyarakat yang menganggap bahwa fungsi sekolah adalah menjadi inspirattor dan
menjadi motor penggerak (agent of change) bagi setiap perubahan. Jika demikian,
tentu akan sangat banyak yang diharapkan masyarakat dari sekolah. John Dewey
mengemukakan bahwa lembaga pendidikan sekolah adalah institusi yang paling
efektif untuk melakukan rekonstruksi dan memperbaiki masyarakat melalui
pendidikan individu. Bahkan G.S.Counts lebih jauh dari itu; dengan mengemukakan
bahwa ”pendidikan tidak hanya harus membawa perubahan dalam masyarakat akan
tetapi mengubah tata sosial dan mengatur perubahan sosial.”[4]
Jika demikian fungsi dan tugas yang diemban sekolah, maka hal itu sangat
tergantung kepada kurikulum, karena kurikulum adalah pedoman dari semua
kegiatan pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Dengan kata
lain, dapat dikatakan bahwa kurikulum berperan sangat besar dalam mempercepat
terjadinya proses perubahan sosial di dalam masyarakat. Teori sosiologi
mengatakan bahwa: Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami
perubahan-perubahan, Perubahan mana dapat berupa perubahan yang tidak menarik
atau kurang mencolok. Ada pula perubahan–perubahan yang pengaruhnya terbatas
maupun amat luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali akan
tetapi ada pula perubahan yang amat cepat.[5]
Ini pula yang menjadi salah satu alasan mengapa kemudian kurikulum perlu
dikembangkan atau bahkan mungkin diadakan perubahan. Hal itu semata-mata karena
terjadinya dinamika dalam kehidupan sosial masyarakat.
Seiring dengan
itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Kemajuan di bidang teknologi ini telah mengakibatkan
perubahan-perubahan yang sangat fantastis, drastis dan signifikan dalam
kehidupan umat manusia di hampir segala aspek kehidupan (Bastian, 2002).
Membangun
masyarakat melalui pendidikan adalah keharusan yang sangat mendesak dan tidak
boleh ditawar-tawar. Bastian (2002:13) mengemukakan bahwa : ”Bangsa yang tidak
mampu untuk mengantisipasi perkembangan disebabkan kesalahan sistem
pendidikannya yang tidak berorientasi pada pengembangan potensi pembawaan
generasi mudanya secara maksimal.” Sistem pendidikan sangat tergantung dari
cara pandang suatu bangsa akan pengertian apa sebenarnya hakikat pendidikan
tersebut.
E. Perubahan Kurikulum
Istilah kurikulum lazimnya dikaitkan dengan isi atau
program pendidikan di lembaga persekolahan. Istilah
kurikulum ditempatkan dalam suatu jangkauan perspektif yang lebih luas, bukan sekedar
dikaitkan dengan upaya pendidikan dalam sistem persekolahan, tetapi dikaitkan dengan
segala macam upaya yang membawa misi pembinaan kepribadian bangsa.Segala macam usaha
pembinaan kepribadian bangsa yang dimaksud, baik yang berlangsung di dalam maupun
di luar sekolah, kesemuanya terkandung dan membawa misi atau pesan pendidikan tertentu,
misi atau pesan itulah yang dimaksudkan dengan kurikulum.
Sesuai dengan
kemajuan zaman, kurikulum sudah saatnya dinilai dan selanjutnya dimodifikasi
sedemikian rupa, sehingga lebih sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.
Dalam hubungannya
dengan pembaharuan kurikulum, sebagaimana diajukan komisi kerajaan Inggris,
Hadow di dalam laporannya mendesak perlunya menawarkan pelajaran realistis dan
praktis sebagai suatu bagian pendidikan umum daripada menyelenggarakan
pendidikan teknik atau pendidikan keterampilan sendiri. Dalam laporan itu Hadow
juga menekankan suatu kurikulum yang memperhatikan minat dan kapasitas perseorangan
murid. Dengan istilah yang tegas dan memikat, Hadow mendesak adanya kurikulum persekolahan
yang membuka peluang seluas-luasnya kepada pengembangan minat anak-anak sehingga
memberi suatu suasana yang menyenangkan bagi murid-murid.
Untuk
memperlancar gerak maju bangsa ini, rasanya sangat mendesak untuk mengubah
kurikulum kemasyarakatan yang terpakai sekarang ini. Dalam hubungan ini tentu
saja diperlukan pengkajian yang cermat tentang ciri tatanan dan mentalitas
maju/modern itu sendiri. Di samping itu, juga diperlukan penelitian dan
analisis yang cermat tentang dosis dari aspek-aspek yang di kurikulumkan selama
ini, mana yang dosisnya berlebihan, memadai, dan kekurangan.
Bertolak dari
dua macam informasi kunci tersebut, berikutnya tinggal menetapkan kurikulum
baru dalam rangka pembinaan dan pengembangan bangsa ini. Dalam hubungan ini
diperlukan keberanian sikap untuk menentukan pilihan dan keputusan tentang
aspek mana yang perlu dikurangi dosisnya, aspek mana yang perlu ditambah
dosisnya, dan aspek mana yang untuk sementara dapat diabaikan sama sekali.
Katakanlah
kurikukum baru yang dimaksud sudah ditetapkan. Persoalannya sekarang adalah,
bagaimana memobilisir pranata-pranata kemasyarakatan yang ada guna menerapkan
kurikulum baru tadi. Inilah persoalan yang paling sulit, karena tidak mudah
menggerakkan para kepala sekolah dan guru dalam rangka mernerapkan kurikulum
baru di sistem persekolahan. Walaupun demikian, semuanya banyak bergantung pada
tekat pemerintah, dan apakah pemerintah mau melakukan perubahan kurikulum untuk
pendidikan Indonesia.
F.
Implikasi
Sosial
Bila diamati
perkembangan suatu masyarakat, akan terlihat jelas adanya peningkatan dan
perluasan didalam hal pengetahuan dan kemampuan mengendalikan lingkungan. Dalam
konteks perkembangan masyarakat, lembaga pendidikan mau tidak mau harus
berperan sebagai media penerus kemampuan-kemampuan yang berkembang
dimasyarakatnya.
Berdasarkan
kacamata sosiologi, sebagaimana dinyatakan oleh penganut-penganut Durkhiem,
seseorang dididik dalam konteks masyarakatnya, dan hidup didalam konteks
masyarakatnya, oleh sebab itu pendidikan tidak layak berada ditempat yang
terasing dengan masyarakat. Atas dasar itu relevan atau tidak, praktis atau
tidak dan berguna atau tidak sajian pendidikan yang diberikan. Pendidikan
merupakan suatu hal yang harus difikirkan dan dirancang sejalan dengan
kebutuhan atau tuntutan obyektif yang berkembang dimasyarakat.
Untuk zaman
sekarang pendidikan bertugas menghantarkan anak didik kedunia masyarakat dan
dunia pengetahuan, agar mereka memiliki bekal untuk hidup selaku masyarakat
atau warga negara. Relevansi sosial dari apa yang diajarkan, merupakan hal
penting yang tidak dapat diabaikan dalam pengembangan kurikulum. Dalam hal ini
sering sekali terjadi kekurangan antara apa yang dibutuhkan masyarakat dengan
apa yang diajarkan disekolah.[6]
KESIMPULAN
Sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang memiliki lapangan penyelidikan, sudut pandang, metode, serta sususan pengetahuan dan objeknya adalah tingkah laku manusia dalam kelompok.
Kurikulum
adalah situasi kelompok yang tersedia bagi guru dan pengurus sekolah
(administrator) untuk membuat tingkah laku yang berubah di dalam arus yang
tidak putus-putus dari anak-anak dan pemuda yang melalui pintu sekolah.
Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin, yaitu “curriculae”
yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Kurikulum adalah suatu program
pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa. Dengan program itu para
siswa mampu melakukan berbagai kegiatan, sehingga terjadi perubahan dan
perkembangan tingkah laku siswa, sesuai dengan tujuan pendidikan pembelajaran.
Menurut Norwood dan kawan-kawannya, mengatakan bahwa
kurikulum persekolahan hendaknya mengandung :
“Upaya pembinaan
rasa tanggung jawab dan menghargai akal budi, menumbuhkan
sikap mandiri di dalam melakukan telaahan serta mengembangkan kekuatan
intelektual yang bebas dan bertanggung jawab, memberikan
sejumlah pengetahuan dan pengertian tentang fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa
yang menentukan dunia kehidupan yang bakal dialami, mengembangkan
kemampuan murid untuk menyadari masalah-masalah dan resiko yang bakal muncul didalam
pengambilan tindakan atau pilihan disepanjang hidup kelak.”
Dalam laporan
newson, tujuan kurikulum baru haruslah :
“mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar,mengembangkan
keterampilan
berfikir, hasrat ingin tahu, serta kemampuan diskriminasi dan mengambil
keputusan, membina
kesadaran moral dan tingkah laku sosial, menanamkan pengertian mengenai dunia
fisik dan dunia masyarakat indonesia dan mengembangkan
rasa tanggung jawab pribadi dan sosial”.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Abu. “SosiologiPendidikan”.
Jakarta : Rineka Cipta, Tahun 2007
Brown.” Educational Sosiology.”Tokyo:
University Book Store, Tahun 1961
M. Noor Syam Drs, dkk.” Dasar-Dasar
Pendidikan.” Surabaya: Usana Offset Printing. Tahun 1980
Nasution, S..”Sosiologi Pendidikan”.
Jakarta: Bumi Aksara. Tahun 2004
[1] Abu
Ahmadi. 2007. SosiologiPendidikan. Jakarta: RinekaCipta. hal 2.
[2]
Brown. 1961. Educational
Sosiology.Tokyo: University Book Store
[3]
Drs. M. Noor Syam, dkk. 1980. Dasar-DasarPendidikan.
Surabaya: Usana Offset Printing. Hal.124-127.
[5] SoerjonoSoekanto.
1996. SosiologiSuatuPengantar. Jakarta: CV Rajawali. Bab 6.
[6]
Drs. M. Noor Syam, dkk. 1980.
Dasar-DasarPendidikan. Surabaya: Usana Offset Printing. Hal.128-130.
Komentar
Posting Komentar