PERKEMBANGAN
JIWA
KEAGAMAAN PADA ANAK,
REMAJA DAN DEWASA
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah
Metode Pengembangan Keberagamaan
Dosen Pengampu
Dr. H. Wawan A Ridwan, MAg.
Oleh : Opik Taopikurohman
NIM : 14146310044
PAI/A
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2015
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan
penyusunan Makalah ini pada mata kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan dengan judul “Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada
Anak, Remaja Dan Dewasa " dengan tepat waktu.
Laporan ini tidak akan selesai
tepat waktu tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
terima kasih kepada :
1. Dr. H. Wawan A. Ridwan, M,Ag. sebagai dosen
Mata kuliah Metode Pengembangan Keberagamaan.
2. Semua pihak yang turut
membantu pembuatan makalah ini yang tidak bisa penyusun sebutkan satu persatu.
Tak ada gading yang tak retak.
Demikian pula, tak ada karya yang sempurna. Oleh karena itu, penyaji
mengharapkan kritik dan saran dari pembahas untuk kemajuan makalah ini di masa
mendatang.
Akhir kata, diharapkan makalah
ini dapat membuka wawasan mengenai Metode Pengembangan Keberagamaan serta dapat mengambil hikmah dan manfaat dari
makalah ini. Selain itu, penulis berharap melalui pembuatan makalah ini, kita
dapat mendiskusikannya dengan sebaik-baiknya.
Penulis
Opik
Taopikurohman
PERKEMBANGAN
JIWA KEAGAMAAN
PADA ANAK, REMAJA
DAN DEWASA
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
perkembangan manusia, yaitu sejak usia bayi hingga mencapai kedewasaan jasmani
terjadi proses perkembangan yang progresif. Pertumbuhan fisik berjalan secara
cepat hingga mencapai titik puncak perkembangannya, yaitu usia dewasa (22-24
tahun).
Perkembangan
selanjutnya adalah kemantapan fisik yang sudah dicapai. Sejak mencapai usia
kedewasaan hingga ke usia sekitar 50 tahun, perkembangan fisik manusia boleh
dikatakan tidak mengalami perubahan yang banyak. Barulah diatas usia 50 tahun
mulai terjadi penurunan perkembangan yang drastic hingga mencapai usia lanjut.
Periode ini disebut sebagai periode regresi (penurunan).
Sejalan dengan penurunan tersebut,
maka secara psikis terjadi berbagai perubahan pula. Perubahan-perubahan gejala
psikis ini ikut mempengaruhi berbagai aspek kejiwaan yang terlihat dari
pola tingkah laku yang diperlihatkan.
Pada
tahap kedewasaan awal terlihat krisis psikologi yang dialami oleh karena adanya
pertentangan antara kecenderungan untuk mengetatkan hubungan dengan
kecenderungan untuk mengisolasi diri. Terlihat kecenderungan untuk berbagi
perasaan bertukar pikiran dan memecahkan berbagai problema kehidupan dengan
orang lain. Mereka yang menginjak usia ini (sekitar 25-40 tahun) memiliki
kecenderungan besar untuk berumah tangga, kehidupan sosial yang lebih luas
serta memikirkan masalah-masalah agama yang sejalan dengan latar belakang
kehidupannya.
Selajutnya
pada tingkat kedewasaan menengah (40-65 th) manusia mencapai puncak periode usia
yang paling produktif . Tetapi dalam hubungannya dengan kejiwaan, maka pada
usia ini terjadi krisis akibat pertentangan batin antara keinginan untuk
bangkit dengan kemunduran diri. Karena itu umumnya pemikiran mereka tertuju
pada upaya untuk kepentingan keluarga, masyarakat dan generasi mendatang.
B.
Perumusan Masalah
Dari paparan latar belakang di
atas
dapat
diambil
permasalahan
sebagai
berikut :
1. Bagaimana teori perkembangan jiwa
keagamaan?
2. Bagaimana perkembangan
jiwa keagamaan pada anak?
3. Bagaimana perkembangan
jiwa keagamaan pada remaja?
4. Bagaimana perkembangan
jiwa keagamaan pada orang dewasa?
II.
Pembahasan
A.
Teori Perkembangan Jiwa Keagamaan
Dr. Zakiah Daradjat
berpendapat bahwa pada diri manusia itu terdapat kebutuhan pokok. Beliau
mengemukakan, bahwa selain dari kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani manusia
pun mempunyai suatu kebutuhan akan adanya kebutuhan akan keseimbangan dalam
kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan.
Unsur-unsur kebutuhan yang dikemukakan yaitu :
1.
Kebutuhan akan rasa kasih sayang; kebutuhan
yang menyebabkan manusia mendambakan rasa kasiha. Sebagai pernyataan tersebut
dalam bentuk negatifnya dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
: mengeluh, mengadu, menjilat kepada atasan mengambinghitamkan orang dan lain
sebagainya.
Akibat dari tidak terpenuhinya kebutuhan
ini maka akan timbul gejala psiko-somatis misalnya ; hilang nafsu makan,
pesimis, keras kepala, kurang tidur dan lain-lain.
2.
Kebutuhan akan rasa aman; kebutuhan yang
mendorong manusi mengharapkan adanya perlindungan. Kehilangan rasa aman ini
akan mengakibatkan manusia sering curiga, nakal, mengganggu, membela diri,
mengguakan jimat-jimat dan lain-lain. Kenyataan dalam kehidupan ialah adanya
kecenderungan manusia mencari perlindungan dari kemungkitan gangguan terhadap
dirinya, misalnya: system perdukunan, pertapaan dan lain-lain.
3.
Kebutuhan
akan rasa harga diri, kebutuhan yang bersifat individual yang mendoron manusia
agar dirinya dihormati dan diakui oleh orang lain. Dalam kenyataan terlihat
mislnya; sikap sombong, ngambek, sifat sok tahu dan lain-lain. Kehilangan rasa
harga diri ini akan mengakibatkan tekanan batin, misalnya sakit jiwa: delusi
dan illusi.
4.
Kebutuhan akan rasa bebas: kebutuhan yang
menyebabkan seseorang bertindak secara bebas, untuk mencapai kondisi dan
situasi rasa lega.
5. Kebutuhan akan rasa sukses: kebutuhan manusia
yang menyebabkan ia mendambakan rasa keinginan untuk dibina dalam bentuk
penghargaan terhadap hasil karyanya. Jika kebutuhan akan rasa sukses ini
ditekan, maka seseorang yang mengalami hal tersebut akan kehilangan harga
dirinya.
6.
Kebutuhan akan rasa ingin tahu (mengenal); kebutuhan
yang menyebabkan manusia selalu meneliti dan menyelidiki sesuatu. Jika
kebutuhan ini diabaikan akan mengakibatkan tekanan batin, oleh karena itu
kebutuhan ini harus disalurkan untuk memenuhi pemuasan pembinaan pribadinya.
Menurut Dr. Zakiah Darajat selanjutnya gabungan
dari keenam macam kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama.
Melalui agama kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat disalurkan. Dengan
melaksanakan ajaran agama secara baik maka kebutuhan akan rasa kasih saying,
rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, rasa sukses dan rasa ingin tahu akan
terpenuhi.
B.
Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada
Anak
1.
Karakteristik Keagamaan Pada Usia
Anak
a. Munculnya jiwa keagamaan anak
Ada beberapa teori timbulnya keagamaan anak, yakni:[1]
1) Rasa ketergantungan.
Manusia dilahirkan kedunia ini memiliki empat kebutuhan, yakni keinginan untuk
perlindungan (security), keinginan akan pengalamn baru (new experience),
keinginan untuk dapat tanggapan (response), keinginan untuk
dikenal(recognition).Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan
itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui
pengalaman-pengalamn yang diterimanya darilingkungan itukemidian terbentuklah
rasa keagaman pada diri anak.
2) Instink
keagamaan. Bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink. Diantaranya
instink kagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena
beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu
belum sempurna. Dengan demikian pendidikan agama perlu diperkenalkan kepada
anakjauh sebelum usia 7 tahun. Artinya, jauh sebelum usia tersebut, nilai-
nilai keagamaan perlu ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Nilai keagamaan
itu sendiri bisa berarti perbuatan yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan
atau hubungan antar sesama manusia.
b. Perkembangan Agama Pada
Anak-Anak
Perkembangan religiusitas pada usia anak memiliki
kerakteristiktersendiri. Menurut penelitian ernest harms perkembangan agama
pada anak-anak melalui beberapa 3 fase atau tingkatan:[2]
1.
The Fairy Tale Stage ( Tingkat
Dongeng ) Tingkatan ini dimulai pada anak usia 3-6 tahun. Pada tingkatan
inikonsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada
tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke- Tuhanan sesuai dengan
tingkat perkembangan inteleknya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi
kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan
konsep fantatis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2.
The Realistic Stage (Tingkat
Kenyataan)
Tingkat
ini dimulai sejak 7-12 tahun. Pada fase ini anak mampu
memahami
konsep ketuhanan secara relistik dan kongkrit. Pada masa ini ide keagamaan pada
anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan
yang formalis.
3. The
Individual Stage (Tingkat Individu) Tingkat
Tingkat
ini terjadi pada usia remaja. Situasi jiwa yangmendukung perkembangan rasa
keTuhanan pada usia ini adalah kemampuannya untuk berfikir abstrak dan
kesensitifan emosinya. Pemahaman keTuhanan padan remaja dapat ditekankan pada
makna dan keberadaan Tuhan bagi kehidupan manusia.
c.
Sifat-sifat keagamaan pada
anak-anak
Clark
merumuskan delapan karakteristik religiusits pada anak, yaitu:[3]
1. Ideas
Accepted On Authority. Semua pengetahuan yang dimiliki anak datang dari luar
dirinya terutama dari orangtuanya. Semenjak lahir anak sudah terbentuk untuk
mau menerima dan terbiasa untuk mentaati apa yang disampaikan orang tua, karena
dengan demikian akan menimbulkan rasa senang dan rasa aman dalam dirinya. Maka
nilai-nilai agama yang diberikan oleh orangtua atau orangtua pengganti dengan
sendirinya akan terekam dan melekat pada anak. dalam hal ini maka orang tua
mempunyai otoritas yang kuat untuk membentuk religiusitas anak
2. Unreflective.
Anak menerima konsep keagamaan berdasarkan otoritas, maka jarang terdapat anak
yang melakukan perenungan (refleksi) terhadap konsep keagamaan yang diterima.
Pengetahuan yang masuk pada usia awal dianggap sebagai suatu yang menyenangkan,
terutama yang dikemas dalam bentuk cerita olehkarena itu konsep tentang
nilai-nilai keagaman dapat sebanyak mungkin diberikan pada usia anak dan
sebaiknya disampaikan dalam bentuk cerita.
3. Egocentric.Mulai usia sekitar satu tahun pada
anak terkembang kesadaran tentang keberadaan diri tumbuh egosentrisme, dimana
anak melihat lingkungannya dengan berpusat pada kepentingan dirinya. Maka
pemahaman religiusitas anak juga didasarkan pada kepentingan diri tentang
masalah keagamaan. Oleh karena itu pendidikan agama sebaiknya lebih dikaitkan
pada kepentingan anak, misalnya ketaatan ibadah dikaitkan dengan kasih sayang
Tuhan terhadap dirinya.
4. Anthropomorphic.
Sifat anak yang mengkaitkan keadaan suatu yang abstrak dengan manusia. Dalam
hal keTuhanan mak anak mengkaitkan sifat-sifat Tuhan dengan sifat manusia. Hal
ini terjadi karena lingkungan anak yang pertama adalah manusia, sehingga
manusialah sebagai ukuran bagi suatu yang lain. Oleh karena itu dalam
pengenalan sifat-sifat Tuhan kepada anak sebaiknya ditekankan tentang perbedaan
sifat antara manusia dan Tuhan.
5. Verbalized And Ritualistic. Perilaku
keagamaan pada anak, baik yang menyangkut ibadah maupun moral, baru bersifat
lahiriyah, verbal dan ritual, tanpa keinginan untuk dilakukan dan diajarkan
oleh orang dewasa. Akan tetapi bila perilaku keagamaan itu dilakukan dan
diajarkan oleh orang dewasa. Akan tetapi bila perilaku keagamaan itu dilakukan
secara terus menerus dan penuh minat akan membentuksuatu rutinitas perilaku
yang sulit untuk ditinggalkan. Pada waktu anak memasuki usia remaja baru akan
muncul keinginan untuk mengetahui makna dan fungsi dari apa yang selama ini
dilakukan. Oleh karena itu pendidikan agama perlu menekankan pembiasaan
perilaku dan pembentukan minat untuk melakukan perilaku keagamaan.
6. Imitative. Sifat dasar anak dalam melakukan
perilaku sehari-hari adalah menirukan apa yang terserap dari lingkungannya.
Demikian juga dalam perilaku keagamaan. Anak mampu memiliki perilaku keagamaan
karena menyerap secara terus menerus perilaku keagamaan dari orang-orang terdekatnya,
terutama orangtua dan anggota keluarga yang lain. Ditambah dengan daya sugesti
dan sikap positif orangtua terhadap perilaku yang telah dilakukan akan
memperkuat aktivitas anak dalam berperilaku keagamaan. Oleh karena itu
menempatkan anak dalam lingkungan beragama menjadi prasarat terbukanya
religiusitas anak.
7. Spontaneous In Some Respeck. Berbeda dengan
sifat imitative anak dalam melakukan perilaku keagamaan, kadang-kadang muncul
perhatian secara spontan terhadap masalah keagamaan yang abstrak. Misalnya
tentang surga, neraka, tempat Tuhan berada, atau yang lainnya. Keadaan tersebut
perlu mendapat perhatian dari orangtua atau pendidik agama, karena dari
pertanyaan spontan itulah sebenarnya permulaan munculnya tipe primer pengalaman
religiusitas yang dapat berkembang.
8. Wondering. Ini bukan jenis ketakjuban yang
mendorong munculnya pemikiran kreatif dalam arti intelektual, tetapi sejenis
takjub yang menimbulkan rasa gembira dan heran terhadap dunia baru yang terbuka
didepanya. Suasana ketakjuban dan kegembiraan ini masih dapat terbawa pada usia
dewasa, ketika seseorang memproyeksikan ide-idenya mengenai Tuhan dan
ciptaan-Nya serta menemukan rasa ketakjuban disana. Pada anak takjub ini dapat
menimbulkan ketertarikan pada cerita-cerita keagamaan yang bersifat fantastis,
misalnya peristiwa mukjizat pada sejarah Nabi-nabi, serta cerita kehebatan para
sahabat dan pahlawan islam.
2.
Anak Usia Dini
Pengertian
anak usia dini menurut Slamet Suyanto dimulai dari usia 0-8 tahun.[4]
Pada tahap ini anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat
baik fisik maupun mental. Sehingga untuk membentuk generasi yang cerdas,
beriman, bertakwa, serta berbudi luhur hendaklah dimulai pada fase tersebut.
Hibana S. Rahman juga mengatakan anak usia dini
adalah 0-8 tahun [5]yaitu
sebagai lompatan perkembangan. Karena itulah masa yang unik, golden age (usia
emas) dalam pertumbuhan dan perkembangan. Istilah lain dari anakusia dini
adalah fase prasekolah yaitu usia sekitar 2-6 tahun, yaitu ketika anak memiliki
cukup pemahaman tentang dirinya.[6]
Sedangkan untuk pengertian anak usia dini yang kami
gunakan disiniadalah anak yang berusia 2-6 tahun. Karena pada masa ini anak
mulai mengenal benda yang pernah dilihatnya, anak juga mulai berfikir dan mampu
memahami konsep yang sederhana.
3.
Taman Kanak-Kanak
Taman
kanak-kanak merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan anakusia dini pada
jalur pendidika formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia
empat tahun sampai enam tahun dan di dalamnya terdapat GAris-Garis Besar
Program Kegiatan Belajar (GBPKB), yakni usaha untuk mengetahui secara mendalam
tentang perangkat kegiatan yang direncanakan untuk dilaksanakan dalam kurun
waktu tertentu, dalam rangka melaksanakan dasar-dasar bagi pengembangan diri
anak usia dini TK.
Tujuan
dari TK adalah untuk membantu anak didik mengembangkanpotensi baik fisik maupun
psikis yang meliputi moral, nilai-nilai agama, sosial, emosional, kognitif,
bahasa, fisik atau motorik, kemandirian, dan seni untuk siap memasuki
pendidikan dasar. Adapun tujuan TK yang berkesinambungan dengan pendidikan agam
islam adalah untuk membentuk generasi yang islami menuju insan kamil (manusia
sempurna).
C.
Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Remaja
Masa remaja adalah masa yang seolah-olah tidak
memiliki tempat yang jelas, ia tidak termasuk golongan anak juga tidak termasuk
golongan dewasa. Karena remaja belumlah mampu menguasai fungsi fisik maupun
psikisnya, oleh karena itu masa remaja biasa kita dengar sebagai masa transisi
atau masa peralihan.
Pada
sejarahnya posisi remaja berada dalam tempat marginal (Lewin, 1939). Karena
untuk dikatakan dewasa membutuhkan banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk
bisa dikategorikann dewasa, sehingga remaja lebih mudah dekategorikan sebagai
anak daripada dewasa. Kemudian pada abad ke-18 barulah masa remaja dipandang
sebagai periode tertentu yang lepas dari periode kanak-kanak. Batasan usia
remaja berkisar antara usia 12-21 tahun,
dengan perincian 12-15 tahun msa remaja awal, 15-18 tahun remaja pertengahan,
18-21 tahun masa remaja akhir. [7]
1.
Faktor yang mempengaruhi terhadap perkembangan Keagamaan Remaja
Sejalan
dengan perkembangan jasmani dan rohani remaja, maka agama pada para remaja
dipengaruhi oleh masa Juvenilitas, pubertas, dan nubilitas. Maksudnya
penghayatan para remaja terhadap ajaran agam dan tindak keagamaan yang tampak
pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan
rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W.Starbuck adalah:
a. Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari
masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis
terhadap ajaran agam mulai timbul. Selain masalah agama merkapun sudah tertrik
dari masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.
Dalam
penelitian Allport, Gillesphy, dan young menyatakan bahwa agama yang
ajarannya bersifat lebih konservativ lebih banyak ber pengaruh bagi para remaja
untuk tetap taat kepada ajaran agamanya. Namun sebaliknya agama yang ajarannya
kurang konservatif-dogmatis dan agak liberal akan nudah merangsang pemiikiran
pengembangan pikiran dan mental para remaja sehingga mereka banyak meninggalkan
agamanya.[8]
b. Perkembangan Perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja.
Perasaan sosial, etis, dan estesis
mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam
lingkungannya. Masa remaja adalah masa kematangan seksual , yang didorong oleh
perasaan ingin tahu dan perasaan super, dan remaja adalah masa-masa yang mudah
untuk mesuk dan terjerumus ke arah
tindakan seksual yang negatif.
Dalam penyelidikan yan dilakukan
oleh Dr. Kinsey pada tahun 1950an mengungkapkan bahwa 90% dari pemuda Amerika
telah mengenal masturbasi, onani, dan
homo seksual.
c. Pertimbangan Sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai
oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul
konflik antara pertimbangan moral dan material. Karena kehidupan duniawi lebih
dipengaruhi akan kepentingan materi, maka para remaja cenderung sifatnya
matrealistis.
Hasil penyelidikan
Ernest Harms terhadap 1789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukan
bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan keuangan, kesejahteraan,
kebahagiaan, kehormatan diri dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan
masalah masalah akhirat dan keagamaan hanya sekitar 3,6%, dan masalah sosial
5,8%. [9]
d. Perkembangan Moral
Perkembangan moral para remaja
bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral
yang juga terlihat pada para remaja juga mencakupi:
1. Self-diretive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan
pribadi.
2. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama
4. Unnajusted, belom mmeyakini akan keberadaan ajaran agama dan moral.
5. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral
keagamaan.
e. Sikap dan Minat
Sikap dan minat
remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini
tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi
mereka (besar kecil minatnya). Sebagian besar remaja lebih berminat terhadap
masalah ekonomi, keuangan, kesuksesan untuk dirinya. Dibandingkan minat mereka
terhadap masalah ideal, keagamaan dan sosial.
f. Ibadah
2.
Pandangan Remaja terhadap
Agama
Pandangan
para remaja terhadap ajaran agama (ibadah), mereka hanya menganggap ibadah adalah sebuah media
untuk bermeditasi dan sedikit remaja yang mengatakan bahwasanya ibadah adalah
alat untuk berkomunikasi terhadap tuhan. Hal tersebut terbukti karena lebih
banyaknya remaja yang tidak melaksanakan ibadah dibandingkan remaja yang
melaksanakan ibadah secara benar.
Masalah
pokok yang sangat menonjol berkenaan dengan keberagamaan dikalangan para remaja
dewasa ini adalah kaburnya nilai-nilai moral dimata generasi muda, mereka dihadapkan
pada berbagai kontradiksi dan anekaragam pengalaman moral, yang menyebabkan mereka
bingung untuk memilih mana yang baik untuk
mereka.[10]
3.
Basis
Penanaman
Pendidikan Agama bagi Remaja
a.
Lingkungan Keluarga
Suasana lingkungan keluarga yang kurang mendukung,
pertumbuhan
dan
perkembangan
anak
atau
generasi
muda
tersebut
antara lain terlihat dalam berbagai masalah yang dihadapi oleh orang
tua dan juga oleh anak-anak itu sendiri di
dalam
keluarganya, anatar lain, ialah :
1.
Adanya
(gejala-gejala) perselisihan atau pertentangan antara anak
2.
Kurang terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan secara memadai
3.
Kebiasaan-kebiasaan tradisional dan konvensional terutama pada keluarga di
lingkungan
masyarakat
daerah
pedesaan.[11]
b.
Lingkungan sekolah
c.
Lingkungan Masyarakat
4.
Pembinaan Pribadi Remaja
Proses
pembinaan
remaja
harus
disesuaikan
dengan
kondisi
usia
mereka, yakni
berkisar (18-24 tahun). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa umur tersebut dapat digolongkan remaja, mereka bukan lagi anak-anak
yang dapat
dinasihati, dididik, dan diajari dengan mudah dan bukan pula orang dewasa yang dapat dilepaskan untuk bertanggung jawab sendiri atas pembinaan pribadinya.Mereka adalah
orang-orang yang sedang berjuang untuk mencapai kedudukan social yang mereka inginkandan bertarung dengan berbagai problematika hidup untuk memastikan diri, serta mencari pegannganu ntuk menetramkan bathin dalam perjuangan hidup yang
tak ringan.[12]
D.
Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada
Masa Dewasa
a.
Karakteristik jiwa keagamaan pada Masa Dewasa
Sebagai
akhir dari masa remaja adalah masa adolesen, walaupun ada juga yang merumuskan
masa adolesen ini kepada masa dewasa, namun demikian dapat disebut bahwa masa
adolesen adalah menginjak dewasa yang mereka mempunyai sikap pada umumnya
yaitu:
a.
Dapat menentukan pribadinya.
b.
Dapat menggariskan jalan hidupnya.
c.
Bertanggung jawab.
Dan
saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya
hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah
memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup.[14]Dengan kata lain, orang
dewasa berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Elizabeth B. Hurlock membagi masa
dewasa menjadi tiga bagian, yaitu:
Masa
dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa
pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan
masalah dan ketegangan emosional, priode isolasi social, priode komitmen dan
masa ketergantungan perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri
pada pola hidup yang baru. Masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang
akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.. Kisaran
umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
Masa
dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung
dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut
pribadi dan social antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi,
dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa
dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani
dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan
masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini
dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.
Masa usia
lanjut (masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup
dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun
sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan
psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan
penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut; perubahan yang
menyangkut kemampuan motorik, perubahan kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi
psikologis, perubahan dalam system syaraf dan perubahan penampilan. Dan
kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia ini.[15]
b.
Karakteristik sikap keberagamaan
pada Orang Dewasa
Pada
usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna
hidup. Dengan kata lain, orang dewasa sudah memahami nilai-nilai yang
dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya. Orang
dewasa sudah memiliki identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap.
Menurut
H. Carl Witherington, diperiode adolesen ini pemilihan terhadap kehidupan
mendapat perhatian yang tegas. Sekarang mereka mulai berfikir tentang tanggung
jawab social moral, ekonomis, dan keagamaan. Pada masa adolesen anak-anak
berusaha untuk mencapai suatu cita-cita yang abstrak. Diusia dewasa biasanya
seseorang sudah memliki sifat kepribadian yang stabil.
Kemantapan
jiwa orang dewasa ini setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana sikap
keberagamaan pada orang dewasa. Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap
system nilai yang dipilihnya, baik yang bersumber dari ajaran agama maupun yang
bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. Pemilihan nilai-nilai tersebut
telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini,
maka sikap keberagamaan seorang di usia dewasa sulit untuk diubah. Jika pun
terjadi perubahan mungkin prose situ terjadi setelah didasarkan atas
pertimbangan yang matang.
Dan
sebaliknya, jika seorang dewasa memilih nilai yang bersumber dari nilai-nilai
non-agama, itu pun akan dipertahankannya sebagai pandangan hidupnya.
Dan
jika nilai-nilai agama yang mereka pilih dijadikan pandangan hidup, maka sikap
keberagamaan akan terlihat pula dalam pola kehidupan mereka. Sikap keberagamaan
seorang dewasa cenderung didasarkan atas pemilihan terhadap ajaran agama yang
dapat memberikan kepuasan batin atas dasar pertimbangan akal sehat.
Beragama,
bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya,
maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri sebagai berikut:
1. Menerima
kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar
ikut-ikutan.
2. Cenderung
bersifat realis, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam
sikap dan tingkah laku.
3. Bersikap
positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari
dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. Tingkat ketaatan
beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap
keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5. Bersikap lebih
terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap lebih
kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain
didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati
nurani.
7. Sikap
keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing,
sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta
melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8. Terlihat adanya
hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian
terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.[16]
c. Faktor-faktor
yang mempengaruhi keberagamaan Orang Dewasa
Dalam
rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan. Karena tingkat
kematangan beragama juga merupakan suatu perkembangan individu, hal itu
memerlukan waktu, sebab perkembangan kepada kematangan beragama tidak terjadi
secara tiba-tiba. Ada dua factor yang menyebabkan adanya hambatan, yaitu:
1. Faktor diri sendiri
Factor
dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua, yaitu: kapasitas diri dan
pengalaman.
Kapasitas
ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat
perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Mereka
yang mampu menerima dengan rasio akan menghayati dan kemudian mengamalkan
ajaran-ajaran agama tersebut dengan baik, walaupun yang ia lakukan itu berbada
dengan tradisi yang mungkin sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat.
Dan sebaliknya, orang yang kurang mampu menerima dengan rasionya, ia akan lebih
banyak tergantung pada masyarakat yang ada.
Sedangkan
factor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan,
maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan aktifitas keagamaan.
Namun, mereka yang mempunyai pengalaman sedikit dan sempit, ia akan mengalami
berbagai macam kesulitan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan
stabil.
2. Faktor luar
Yang
dimaksud dengan factor luar, yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang
tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap
tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada. Factor-faktor tersebut
antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima.
Dan
William James mengemukakan dua buah factor yang mempengaruhi sikap keagamaan
seseorang, yaitu:
a.
Factor intern, terdiri dari:
1) Temperamen
2) Gangguan jiwa
3) Konflik dan keraguan
4) Jauh dari Tuhan
b. Factor Ekstern, terdiri dari:
1) Musibah
d. Masalah-masalah keberagamaan pada masa Dewasa
Seorang
ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa
dewasa sebagai berikut :
a.
Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah
hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
b.
Masa dewasa tengah, masalah sentral pada masa ini adalah
mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam
membuat keputusan secara konsisten.
c.
Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa
ini,minat dan kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih
berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat
menonjol pada usia tua.[18]
KESIMPULAN
Pertumbuhan rasa agama pada anak
telah mulai sejak si anak lahir dan bekal itulah yang dibawanya ketika waktu
sekolah untuk pertama kali dan pengembangannya ditentukan oleh pendidikan,
pengalaman dan latihan-latihan.
Seorang yang pada waktu kecilnya
tidak pernah mendapatkan didikan agama, pada masa dewasanya seorang anak tidak
akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. Lain halnya dengan orang yang
diwaktu kecilnya mempunyai pengalaman agama, maka orang-orang itu akan dengan
sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan-aturan agama,
terbiasa menjalankan ibadah, takut menjalankan larangan-larangan agama dan
dapat merasakan betapa nikmat hidup beragama.
Dengan demikian ketaatan kepada
ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari
dari orang tua, guru dan lingkungan mereka.
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun
dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat
laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan
pemeliharaan yang mantap.
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama
pada anak-anak. Sesuai dengan cirri yang mereka miliki, maka sifat agama pada
anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority, ide keagamaan pada
diri mereka dipengaruhi oleh factor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat
dimengerti karena anak sejak usia muda telah melihat, mempelajari hal-hal yang
berada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang
dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agama.
Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi
yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan
kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dan para orang tua
maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran. Banyak
teori yang mengemukakan perkembangan agama pada anak atau remaja. Namun,
sejatinya sama tujuannya yaitu untuk mendapatkan kebenaran agama yang hakiki.
Manusia memiliki
bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir akan tetapi, kebutuhan manusia
terbatas karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya. Karena
manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia
merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Yang Maha
Kuasa tempat mereka berlindung, dan memohon pertolongan. Sehingga keseimbagan
manusia dilandasi kepercayan beragama. Sikap orang dewasa dalam beragama sangat
menonjol jika kebutuaan akan beragama tertanam dalam dirinya.
Kesetabilan hidup
seseorang dalam beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah
kesetabilan yang statis. Adanya perubahan itu terjadi karena proses
pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang
ada. Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki persepektif yang luas
didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Beragama bagi orang dewasa sudah
merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan. Namun,
masih banyak lagi yang menjadi kendala kesempurnaan orang dewasa dalam
beragama. Kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan
kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang
dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dina Dalam Islam,
cet II, Yogyakarta, Pustaka Palajar, ,2000
Jalaluddin, Psikologi Agama; Edisi Revisi 2002,cet.
VI, Jakarta ,PT Raja Gravindo Persada, 2002
Susilaningsih,
Makalah perkembangan religiusitas pada
usia anak, Mata Kuliah Psikolgi Agama, semester V, 2007
Slamet
Suyanto, Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia
Dini, Yogyakarta, Hikayat, 2005,
Hibana S.
Rahman, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia
Dini, Yogyakarta, PGTKI Press, 2002
Yusuf, Syamsu, Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja,
cet. V, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004
Haditono,F. J. Siti Rahayu
.Psikologi Perkembangan, Yogyakarta,
Gajah Mada University Press. 2006.
Jalaludin, Psikologi Agama. Jakarta, PT Grafindo
Persada 2003 .
Syamsul Arifin,Bambang, Psikologi Agama, Bandung, PustakaSetia, 2008
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta, PT
Rajagrafindo Persada, 2007
Sururin, Ilmu Jiwa Agama, : Cet. 1, Jakarta, PT
Rajagrafindo Persada, 2004,
[1]Mansur,
Pendidikan Anak Usia Dina Dalam Islam, cet II, (Yogyakarta: Pustaka Palajar,
2007), Hal. 47-48
[2]Jalaluddin,
Psikologi Agama; Edisi Revisi 2002,cet. VI, (Jakarta: PT Raja Gravindo
Persada, 2002), hal.66.
[3]
Susilaningsih, Makalah, perkembangan religiusitas pada usia anak, (Mata Kuliah
Psikolgi Agama, semester V, 2007), hal. 3-4.
[4]
Slamet Suyanto, Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta:
Hikayat. 2005), Hal. 6.
[5]
Hibana S. Rahman, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta:
PGTKI Press, 2002), hal. 32
[6]
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, cet. V, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), hal.162.
[7]Prof. Dr. F. J. Siti Rahayu
Haditono. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta. Gajah Mada
University Press. 2006. Hal, 288
[8]
Prof. Dr. H Jalaludin, Psikologi Agama. Jakarta: PT Grafindo Persada
2003 . Hal:74
[9]
Ibid . Hal: 76
[14]Prof.
Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama,
(Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 105.
[15]
Sururin,M.Ag. Ilmu Jiwa Agama,
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,2004), Cet. 1, hlm. 83.
[16]
Prof. Dr. H. Jalaluddin, Ibid, hlm. 108
[17]Sururin,M.Ag.,
opcit, hlm. 92.
[18]
Sururin,M.Ag., ibid, hlm. 83.